Sebuah Kesempurnaan
Setelah
pulang kuliah malam, aku menyempatkan diri untuk mampir ke Malioboro.
Berkuliner malam adalah kebiasaanku sejak SMP. Mataku tertuju ke sebuah warung
sate dan aku menghampirinya. Sambil menunggu pesanan, aku melihat sekeliling
Malioboro dan teringat dengan kota tempat tinggalku, Kediri. Di Kediri ada
jalan yang hampir mirip dengan Malioboro, yaitu Jalan Dhoho. Setiap malam aku
pergi ke sana untuk membeli nasi pecel ala Kota Kediri.
Pesanan
Sateku tiba, aku pun menyantapnya sambil melihat suasana Malioboro yang tenang.
Aku mengingat masa-masa kecilku di Kota Kediri bersama keluargaku.
Kota
Kediri, kota ini merupakan kota hijrahku dari daerah asalku, Lamongan. Aku
“dibawa” ke kota ini oleh orang tuaku sebelum aku sekolah. Disinilah aku
menginjakkan kaki dari aku kecil hingga SMA. Aku sering sekali menghabiskan
waktu bersama bapak. Beliau sering sekali mengantarku ke TK yang jaraknya
lumayan jauh dari rumah, sebelum beliau pergi ke pasar untuk membeli bahan
untuk dagangannya. Bapakku bekerja sebagai pedagang makanan soto yang khas dari
daerah asal kami. Tak apa, itupun masih cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari keluarga kecil bapakku.
Setelah
selesai berjualan, tak jarang bapak mengajakku berjalan-jalan naik sepeda
motor. Beliau selalu menuruti keinginanku pada saat itu. Bapak adalah orang
yang pendiam, tapi pekerja keras. Sebagian besar dari masa kecilku, aku dekat
sekali dengan bapak. Aku bukanlah orang yang dekat sekali dengan ibu.
2 tahun
masa TK telah usai, kini aku menempuh jenjang SD. Aku masih dekat dengan sosok
“bapak”. Saat penerimaan raport, beliau yang selalu datang untuk menerima
raport itu. Ketika aku melihat sekelilingku, yang menerima raport bukanlah ayah
mereka, namun ibu mereka. Aku ingin sekali raportku diterima oleh ibuku. Aku
sangat merindukan sosok ibu. Aku tahu ibu adalah orang yang sibuk. Hingga
perpisahan SD, selalu beliau yang hadir dalam acara tersebut.
Tahun
pun berlanjut, kini aku bersekolah di sebuah SMP negeri favorit di Kota Kediri.
Di sini aku tidak menemukan teman, tetapi aku menemukan keluarga. Teman yang
telah aku anggap seperti keluargaku sendiri. Disini jugalah kesempurnaan
dimulai. Dulu sewaktu SMP aku bahagia, karena raportku diterima oleh ibuku.
Disisi lain, aku sering sekali bertengkar dengan ibu.
“Hei Ko,”.
Saat aku sedang makan, terdengar seseorang memanggilku. Aku terbangun dari
lamunanku. Aku menoleh ternyata, dia adalah seseorang yang datang dari masa
laluku. Namanya Dimas, dia teman SMA ku yang satu tempat kuliah denganku. Pertemuan
pertama kami, saat kami satu les sewaktu SMP. Walaupun berbeda fakultas, kami
masih berteman.
“Eh
Dimas, ngapain kamu disini?” kataku sambil setengah sadar. “Pengen beli makan
aja, kebetulan lewat sini dan ketemu sama kamu,” jawabnya. Sambil menghampiriku
yang sedang makan sate, kemudian dia duduk disampingku. “Oh begitukah? Bagaimana
kuliah di fakultas perikanan? Kamu mau jadi nelayan ya?” tanyaku sambil
terkekeh. “Alhamdulillah lancar.
Ogakk Ko, aku minat aja di fakultas perikanan,” katanya. “Kok ya masih tetep
panggil Ko? Udahlah panggil Sasa aja, jangan Ko. Kamu tetep aja ya, gak jauh
beda saat SMA,” kataku dengan sedikit kesal. Sebenarnya sih, namaku Sasa Eka.
Entak kenapa Dimas masih memanggilku Eko (nama
plesetanku). “Halah, nggak apa-apa lagi Ko, udah ya aku mau pulang dulu.
Banyak tugas,” kata Dimas. “Ya, Masss. Semangat”. Dimas pulang dan aku masih
duduk di warung sate dekat Malioboro.
Saat
SMP, aku sering sekali bertengkar dengan ibuku. Hingga kelas akhir, yaitu kelas
9 aku tetap belum bisa dekat dengan sosok ibu. Sikapku ini agak lebih mendingan
dari sebelumnya. Tidak terasa UN pun tiba, aku harus belajar dengan giat dan
memperbaiki hubunganku dengan ibu. Aku ingin sekali lulus dengan nilai
memuaskan dan diterima di SMA favorit dikotaku. UN pun dimulai, aku hanya bisa
pasrah dan hanya bisa belajar dengan giat. Entah 1 bulan aku menunggu hasil UN.
Ternyata hasilnya tidak sesuai harapan, tapi tak apa aku bisa ikut seleksi di
SMA favorit itu. Yang lebih membahagiakan lagi, aku bisa dekat dengan “sosok”
ibuku lagi.
Setelah
pendaftaran dibuka, ayah mengantarkanku daftar ke “calon” sekolah lanjutanku.
Setelah berkas diurus, ayah mengajakku pulang dan bersiap untuk pergi ke luar
kota. Setelah tiba dirumah, aku segera mengecek seleksi online, berharap namaku
tetap bertahan diurutan awal. “Bu, namaku terus tergeser. Aku diterima apa
nggak ya bu?” kataku dengan sedikit sedih. “Diterima Sa, ibu yakin. Kamu
diterima,” kata ibu sambil menenangkan diriku. Setelah itu, aku bersiap pergi
ke luar kota bersama ayah dan adikku. Disisi lain aku berharap masuk di SMA
favorit itu, aku selalu mengabari ibu yang sedang dirumah.
Voila! Aku diterima di SMA favorit itu, Alhamdulillah. Aku senang sekali,
sekaligus terkejut. Dimas diterima di SMA ini, tapi aku dan Dimas tidak mungkin
satu kelas. karena Dimas lebih pandai daripada aku. Masa-masa SMAku berlanjut.
Kini hubungan aku dan ibuku semakin dekat, aku sering sekali bercerita dengan
beliau. Kini hidupku mulai terasa sempurna. Aku bisa dekat dengan adikku, ibu,
dan juga bapak. Mereka selalu mendukungku, terkadang aku “ngeyel” saat ibu atau
bapak tak memperbolehkanku. Saat SMA, aku bukanlah anak yang pandai atau
cerdas, namun aku siswa yang biasa-biasa saja. Aku berusaha giat belajar dan
“berteman” dengan buku pelajaran agar aku bisa diterima universitas jalur
SNMPTN.
Tidak terasa aku sudah kelas 12
dan sebentar lagi menghadapi UN. Aku juga mendaftar SNMPTN. Berbulan-bulan
telah berlalu, kini saatnya pengumuman SNMPTN. Alhamdulillah, aku diterima di
universitas daerah Yogyakarta dengan jalur SNMPTN. Kini hidupku terasa lebih
sempurna lagi. Tanpa ayah, ibu, dan adikku aku tidak bisa apa-apa. Kini aku
sudah dekat sekali dengan mereka. Tak terasa hari sudah malam di Malioboro.
Hawa dingin mulai menusukku, saatnya aku menuju kos-kosanku. Setelah membayar
sate, aku pun pulang membawa secercah harapan dan berdoa. (kar)
Comments
Post a Comment