19 Agustus 1945 di Kediri



                          Di hari yang hebat,saya menemukan bacaan yang hebat ,yakni tulisan  hasil penelusuran Sejarah Kediri Masa Kemerdekaan. Penelusurannya sendiri terjadi pada tahun 1983 dan dilakukan oleh Tim Peneliti Sejarah Kediri dari Universitas Kadiri. Tim itu terdiri dari beberapa orang hebat. Saya berpikir akan menjadi baik jika saya menyarikan bacaan hebat tersebut dan kemudian menuliskannya kembali dikolom ini agar satu per satu peristiwa sejarah di Kediri dapat dikuak. Tentu sangat mungkin,sedikit orang Kediri telah tahu peristiwa di Jakarta tersebut. 
                Namun, mereka  dirongrong rasa takut yang amat sangat saat berniat menyebarkan informasi itu  pada orang lain di sekitarnya. Rasa takut itu muncul  lebih karena pengawasan Jepang yang kian ketat  menyusul terjadinya pemberontakan  PETA di Blitar. PETA sendiri dibubarkan oleh Jepang  tak lama setelah pemberontakannya dapat dipatahkan. Adalah R.S. Probokeso yang akan saya posisikan sebagai tokoh sentral dalam cerita bersejarah ini. Ia adalah ketua Pengadilan Kediri pada saat itu. Berkantor di Jl  Jaksa Agung Suprapto 14, Mojoroto Kediri. Saat ini pembangunan gedung itu masih ada, terletak persis di depan lembaga kemasyarakatan namun sudah tidak terpakai lagi.Pada tanggal 19 Agustus 1945, dalam perjalanannya  menuju Kediri, R.S. Probokeso mendapati beberapa  bendera merah putih berkibar di sejumlah tempat di Madiun. Hatinya tergetar melihat bendera itu berkibar. Perasaan suka cita mendengar bahwa  proklamasi telah dikumandangkan dua hari  sebelum menjadi terlengkapi oleh pandangan matanya  pada kibaran dahsyat itu. Bergemuruh dadanya untuk segera sampai di Kediri dan akan segera pula ingin ia kibarkan bendera kebanggaannya. Siang sesampainya Probokeso di Kediri, segera dikumpulkan pegawai pengadilan negeri dan pengadilan kepolisian (landrecht) di halaman kantor pengadilan. 
            Mereka di ajak mengibarkan Sang  Merah Putih. Proses pengibaran itu dipimpinnya sendiri. Bukan di tiang yang ditancapkan di halaman sebagaimana lazimnya pengibaran bendera, tapi bendera itu diikatkan di tiang yang kemudian dipasang di atas gedung Pengadilan Kediri.  Semua yang hadir terkesima penuh keharuan sekaligus kekaguman  pada kegagahan  Merah Putih yang berkibar itu. Namun , ditengah suasana sukacita kemerdekaan yang dilengkapi oleh kibaran bendera itu, datanglah dua orang polisi kenpetai Jepang. Sambil menghardik, mereka memerintahkan  Probokeso menurunkan Sang Merah Putih. Tapi secara tegas perintah itu ditolak dengan alasan bahwa Indonesia telah merdeka pada dua hari sebelumnya. Mendapati penolakan itu, pulanglah dua kenpetai tersebut sambil dengan kasar mengancam. Satu jam berselang, dengan jumlah yang lebih banyak, kenpetai  datang lagi ke kantor pengadilan dengan mengulang perintah yang sama. Namun, dengan ketegasan yang sama pula, R.S. Probokeso mengulang  penolakan perintah penurunan bendera yang telah dikibarkannya. Dengan sangat kesal karena perintahnya lagi-lagi ditolak, akhirnya para kenpetai itu meniggalkan gedung Pengadilan Kediri. Setelah perintah ini tak digubris, hingga matahari sembunyi di balik punggung Klotok, Sang Merah Putih tetap berkibar gagah di atas gedung Pengadilan Negeri Kediri. Itulah hari pertama merah putih berkibar di Kediri. Atas sikap keberaniannya,  pada tahun 1965 Pemerintah Republik Indonesia memberikan penghargaan berupa Satya Lencana Perjuangan Kemerdekaan pada R.S. Probokeso. Setelah di gedung pengadilan negeri, terdapat satu lagi peristiwa penting terjadi pada 19 Agustus 1945 tersebut. Saat pukul 19.00 WIB pada tanggal itu, di asrama polisi terjadi pembicaraan antara Komisaris Polisi Soedarman dan beberapa mantan pimpinan PETA. 
                Di antara tokoh PETA di Kediri itu adalah  Lettu Untung Soerapati dan Kapten Roestamadji. Bersamaan dengan itu kompleks Perguruan Taman Siswa Jl Pemuda 16 Kediri,para tokoh pemuda dan masyarakat melakukan pertemuan. Soerip,Tajib Ermadi,Soejoed,dan Wasis adalah sebagian nama beken di Kediri yang saat itu menjadi pemrakarsa dan pemimpin pertemuan.                                                                  
                  Bersamaan dengan  itu di kompleks Perguruan Taman Siswa Jl Pemuda 16 Kediri, para tokoh pemuda dan masyarakat melakukan pertemuan. Soerip, Tajib Ermadi, Soejoed, dan Wasis adalah sebagian nama beken di Kediri yang saat itu menjadi pemrakarsa dan memimpin pertemuan itu intinya adalah harus segera  dilakukan perlucutan bala tentara Jepang. Markas Jepang pada saat itu berada di bangunan kokoh peninggalan Belanda, berhalaman luas, dan berdiri di Jalan Brawijaya. Kelak, setelah Jepang terusir, markas itu digunakan sebagai markas Brigif 16. Namun, saat ini tempat bersejarah tersebut telah ‘sukses’ menjadi kompleks ruko Jalan Brawijaya (di sebelah barat SD Santa Maria).        
                Para pemuda pemberani dari komponen masyarakat  dipimpin Kapten Bismo dan Kapten Roestamadji sejak malam  hingga pukul 05.00 WIB hari berikutnya mengepung rapat markas Jepang itu.  Setelah diberondong teriakan ‘merdeka’ dan perintah menyerah dari pemuda Kediri yang sebagian besar hanya bersenjatakan bambu runcing, akhirnya Jepang menyerah pada dini hari itu juga. Berbagai senjata yang berada di gudang markas itu kemudian dikeluarkan dan dibagi-bagikan kepada para pemuda yang ikut mengepung.Segera setelah menyerah, terjadi penurunan bendera Jepang di berbagai tempat  di Kediri yang dilakukan oleh masyarakat. Sedang tentara Jepang akhirnya ditawan di beberapa tempat. Untuk tentara yang kejam ditempatkan di rumah penjara, sedang yang lain tersebar di Lapangan Setonobetek, Gurah, dan lokasi yang sekarang menjadi Hotel Merdeka Kediri. Para wanita Jepang ditawan di Hotel Emma yang tempat itu berdiri Hotel Grand Surya Jl Dhoho Kediri. Setelah beberapa bulan ditawan, akhirnya mereka diangkut dengan kereta api ke Surabaya untuk kemudian dipulangkan ke negaranya.                                                                                                        
           Kondisi Eks Gedung PN Kota Kediri Saat Ini tak terawat, begitulah kondisi gedung tua peninggalan zaman kolonial Jl Jaksa Agung Suprapto itu. Di halaman tengah terdapat puluhan tanaman ketela pohon. Sedangkan, bagian  dalam gedung mulai rusak. Plafon bangunan yang terbuat dari anyaman bambu sudah banyak yang bolong. Demikan, juga gentingnya. Adapun cat bangunan yang semula putih berubah menjadi kekuning- kuningan. Pagar besi di bagian depan juga mulai rusak. Enam bagian gedung yang dulu menjadi kantor dan ruang sidang itu telah menjadi perumahan karyawan dan gudang. Dua gedung utama di bagian depan yang semula digunakan sebagai ruang kantor digunakan untuk menyimpan arsip. “Yang utara untuk menyimpan arsip. Yang selatan untuk ruang pertemuan dan arisan karyawan pengadilan,” kata Hari, salah satu keluarga karyawan PN Kota, yang menempati bangunan di bagian tengah kepada Radar Kediri. 

Comments

Popular Posts